Kain khas Manado ini punya sejarah yang panjang dan menjadi kain tenun tradisional dari Sulawesi Utara. Kain ini kemudian dikenal dengan nama kain bentenan. Kain bentenan dibuat di Tombulu, Tondano, Ratahan, Tombatu, dan wilayah lainnya di Minahasa. Namun, nama bentenan diambil dari nama wilayah pelabuhan utama di Sulawesi Utara, yaitu Bentenan wisatasulawesi.com.

Dari pelabuhan inilah, pertama kali kain Bentenan di ekspor pada abad 15-17 ke luar Minahasa. Kain bentenan adalah kain khas Minahasa yang terbuat dari bahan alami, seperti serat kulit kayu dari pohon Sawukouw dan Lahendong. Ada juga yang terbuat dari serat nanas, bambu, atau pisang. Motif kain khas Manado ini juga sangat beraneka ragam. Selain itu, harga kain khas Manado ini sekarang dijual mulai dari harga Rp100.000 atau lebih, tergantung dari motif dan ukurannya.

Sejarah Kain Bentenan Khas Manado

Jumlah kain bentenan yang terakhir ditenun tahun 1880 kini jumlahnya tidak sampai sepuluh buah di dunia. Bahkan, kini hanya ada dua kain bentenan di Indonesia dan keduanya disimpan di Museum Nasional. Kain khas Manado ini menjadi sebuah mahakarya para penenun Minahasa. Tak hanya itu, kain bentenan ini termasuk kain yang sakral dan langka.

Baca Juga : Kelezatan Masakan Khas Minahasa yang Bikin Nagih

Dikatakan sakral karena kain ini dahulu hanya digunakan oleh kalangan tertentu pada waktu tertentu. Dahulu, cara memakai kain khas Manado ini tidak bisa sembarangan. Kain bentenan hanya digunakan para pemimpin adat (Tonaas) dan pemimpin agama (Walian) untuk dikenakan dalam berbagai upacara adat. Mulai dari upacara membangun rumah, menentukan masa tanam, sampai berperang.

Selain itu, kain khas Manado ini juga digunakan dalam berbagai upacara daur hidup. Contohnya sebagai kain pembungkus bayi yang baru lahir, bagian dari upacara pernikahan, hingga pembungkus jenazah bagi kalangan tertentu. Dalam upacara tersebut, Walian dan Tonaas akan memohon perlindungan pada Opo-Opo (dewa) dengan membaca mantra khusus.

Dalam beberapa literatur, dituliskan bahwa kain ini terakhir ditenun di daerah Ratah pada akhir abad ke-18. Kain bentenan asli bahkan sempat menghilang karena tidak diproduksi selama lebih dari 200 tahun. Tak mengherankan jika jumlah kain bentenan antik sampai saat ini jumlahnya sangat sedikit. Di Museum Nasional, tersimpan kain bentenan bermotif patola.

Bahkan menurut Yudi Achyadi, seorang kurator tekstil, kain bentenan tersebut satu-satunya di dunia yang bermotif patola. Motif kain khas Manado ini diduga dipengaruhi oleh motif patola India. Hetty Nooy Palm, peneliti asal Belanda, berpendapat bahwa kain bentenan jenis ini terakhir ditenun pada tahun 1880.

Cara Membuat Kain Bentenan

Perjalanan untuk menghasilkan sehelai kain bentenan juga diduga cukup panjang. Kain ini dibuat dengan teknik ikat yang rumit, dimulai dari pemintalan benang, pengikatan dan pewarnaan benang, lalu penjemuran. Selanjutnya, kain akan ditenun tanpa terputus hingga ia berbentuk seperti sarung dengan alat tenun tradisional yang kini sudah tidak bisa ditemukan lagi.

Dalam sebuah tulisan yang diulas dalam koran “Tjahaya Siang” terbitan 1880, sebelum menenun kain, penenun bahkan melantunkan lagu “Ruata”. Lagu tersebut berarti Tuhan agar mereka dapat menghasilkan kain tenun yang indah.

Diproduksi Kembali Setelah Sempat Ditinggalkan

Ada beberapa penyebabnya, salah satunya berkaitan dengan penyebaran agama Kristen yang dibawa para misionaris Belanda. Masyarakat setempat yang sudah memeluk agama Kristen meninggalkan upacara dan berbagai ritual adat.

Sehingga kain bentenan yang dahulu sering dipakai untuk upacara adat pun perlahan dilupakan. Selain itu, penggunaan kain tenun pun dianggap kuno dan kurang modern oleh masyarakat di sana. Banyak orang memilih mengenakan pakaian modern seperti yang dikenakan orang Belanda pada masa kolonial.

Akhirnya, kain bentenan semakin dilupakan dan menjadi langka. Untungnya, kini para perajin dan desainer setempat kembali mempopulerkan kain tenun bentenan. Meski begitu, kualitas kain yang dihasilkan belum dapat menyamai kain tenun bentenan yang asli.